1/26/2016

LGBT dan Arus Pemikiran



Akhir-akhir ini, banyak polemik seputar organisasi Support Group and Resource Center on Sexuality Studies, University of Indonesia (SGRC-UI). SGRC singkatnya ialah organisasi yang membahas isu-isu gender dan seksualitas. Konflik pun muncul dengan sangat cepat diberbagai kalangan, bahkan pihak kampus-UI, terkait dengan kerja sama SGRC-UI dengan Melela.org (Komunitas LGBT). Sehingga, banyak orang yang menyamakan organisasi SGRC dengan komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).

Saya pribadi kurang mengetahui secara persis awal terjadinya konflik tersebut, namun saya ingin melihat persoalan di atas pada tataran pemikiran, khususnya di Indonesia, dan bukan untuk memihak atau menjelekan yang satu dengan yang lain. Menurut saya, isu ini merupakan persoalan klasik yang selalu terjadi di setiap perkembangan pemikiran dalam masyarakat, di mana ide-ide segar itu bertentangan dengan ide-ide yang konservatif (berpegang tegus pada pandangan lama, seperti nilai adat dan norma agama). Tentu saja, kita ketahui bahwa ide tentang LGBT ini datang dari dunia barat, yang sudah mengalami pergolakan pemikiran sangat lama. Permasalahannya di sini adalah apakah bisa LGBT diterima secara luas di masyarakat Indonesia, yang bisa dibilang kebanyakan masyarakatnya berpendidikan rendah dan lebih mempercayai nilai-nilai luhur.
Sebagai sebuah ide, LGBT tentu sesuatu hal yang bagus, yaitu ingin menyetarakan hak-hak kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender di dalam masyarakat karena pada dasarnya kedudukan manusia sama. Dengan kata lain, LGBT ialah orang yang orientasi seksualnya tidak seperti pada umumnya dan ingin hidup normal layaknya sepasang kekasih. Tetapi, penerapan atau penyebarannya pada konteks masyarakat di Indonesia, menurut saya cukup terburu-buru. Karena masyarakat belum bisa menyesuaikan diri dan pemikiran mereka dengan hal baru tersebut, terlebih lagi bila hal itu sangat berbeda 180O derajat dari pandangan mereka semula. Sehingga, ide-ide baru itu tidak bisa diterima oleh mereka bahkan menolaknya. Hal ini butuh melihat kondisi di Indonesia sendiri yang masih sangat minim terhadap keterbukaan pemikiran. Contohnya seperti ide tentang HAM (Hak Asasi Manusia), di Indonesia ide tersebut sampai sekarang masih dipertanyakan dan banyak pelanggaran atasnya. Begitu juga dengan Feminisme, yang muncul belakangan, di Indonesia untuk penyetaraan hak-hak kaum perempuan dan perannya dalam kehidupan bermasyarakat masih sering terjadi pelecehan. Lalu bagaimana dengan LGBT? Perannya dan haknya di dalam masyarakat Indonesia? Apakah bisa ditoleransikan? Tentu pertanyaan tersebut belum bisa dijawab dengan mantap, baik oleh masyarakat maupun komunitas LGBT sendiri. 


Saya khawatir nantinya pemikiran LGBT akan menjadi pemikiran yang undergraund (bergerak sembunyi-sembunyi), maksudnya secara sosial LGBT tidak diakui namun gagasan itu terus hidup di diri masing-masing penganutnya. Pemikiran yang underground menurut saya bukan sesuatu hal baru, karena disadari maupun tidak, sudah ada pemikiran seperti itu di Indonesia. Misalnya, paham atheis yang banyak dianut di kalangan pemuda. Mereka dengan gagasan yang dianutnya tidak ingin diangkat ke publik atau ingin tetapi tidak diakui secara negara, lalu untuk berjalin relasi dengan masyarakat mereka tetap menganut paham yang sesuai dengan aturan negara. Sehingga, bila hal itu terjadi pada pemikiran LGBT, maka apa jadinya pada diri kita, pemikiran kita. Kita sebagai bangsa Indonesia akan terpuruk dalam hal perkembangan pemikiran. Di mana dunia barat telah berdiskusi tentang hak pada diri hewan dan alam, sedangkan LGBT sudah lumrah.
Saya tidak bermaksud untuk menjelaskan kelebihan atau kekurangan dari teori LGBT karena setiap teori memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Saya pribadi hanya mencemaskan perkembangbiakan manusia ke depan nantinya jika kita semua memiliki pemikiran LGBT. Bukan mengkritik melainkan melihat kemungkinan konsekuensi yang terjadi. Dan, saya sayangkan bila LGBT hanya sekedar narsisisme pemikiran semata.
Sekali lagi, pembahasan di sini pure hanya untuk berpikir reflektif.





Oleh, author blog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar