5/05/2018

Game sebagai Karya Seni

Istilah ‘game’ berasal dari bahasa inggris yang memiliki arti ‘permainan’. Di mana game tersebut diartikan sebagai sesuatu yang dapat dimainkan dengan aturan-aturan tersendiri di dalamnya. Pada perkembangannya game ini mengalami perkembangan yang begitu pesat sehingga perubahan yang terjadi baik dari sudut audio dan visual semakin beragam dan lebih baik tentunya. Saya mencoba memaparkan bahwa game yang biasanya kita kenal hanya sebatas alat permainan justru dapat dikatakan sebagai sebuah karya seni. Lantas apa yang membuat game dapat dikatakan sebagai sebuah seni? Tentu satu hal yang menjadi dasar dalam hal ini berkaitan dengan
experience.
Sebelum menyentuh persoalan dasar mengapa game dapat dikatakan sebagai sebuah seni, hendaknya kita terlebih dahulu mengetahui apa saja komponen yang terdapat dalam sebuah game tersebut. Sebuah game tercipta tentunya tidak terlepas dari peran seorang designer game. Dapat dikatakan peranan ide seorang designer ini yang menjadi titik penting dalam pembuatan game, di mana terjadi proses perulangan ide tersebut sehingga impilkasi dari perulangan tersebut menjadikan tersajinya satu konsep game yang hendak dibuat. Pengejawantahan konsep ini dituangkan dalam bentuk tema game dan dengan elemen-elemen yang terdapat pada game.
Sangat mudah mengatakan jika game itu memang benar-benar sebuah seni jika hanya ditinaju dari segi visualnya saja. Tetapi kita lupa bahwa game tidak hanya sebuah tayangan visual, melainkan terdapat sisi lainnya yakni audio. Dalam buku yang berjudul “The Art of Game Design” karya Jesse Schell, dikatakan bahwa audio ini merupakan sebuah kekuatan yang tak terduga yang turut membangun sensasi dalam sebuah strktur game. Dengan terdapatnya audio dalam game, hal itu mampu membuat setiap pemainnya menikmati apa yang disajikan dalam game tersebut.
Berbicara bahwa game adalaha sebuah seni tentu tidak terlepas dari pengalaman yang didapatkan dari game tersebut. Lantas dari mana pengalaman estetis itu bisa didapat? Tentu tidak lepas dari kolaborasi antara audio dan visual yang melekat pada sebuah game. Kolaborasi audio visual ini mewakili komponen yang ada dalam game seperti story, character, dan space, sehingga para penikmatnya dapat mengenal apa yang dinamakan dengan “the world” yang ada dalam game tersebut.

Tetapi game dapat dikatakan sebagai sebuah seni tentu tidak terlpas dari peran para pemainnya, diasumsikan bahwa setiap pemain ini memiliki kesadaran pada saat bermain game tersebut, sehingga dengan adanya permaianan yang secara langsung terjadi proses kesadaran si pemaian yang bersentuhan dengan the world yang ada di dalam game tersebut menimbulkan sebuah pengalaman. Seolah-olah si pemain mendapatkan satu hal yang hendak disampaikan oleh game tersebut.
Dengan adanya hal diatas, kita dapat melihat bagimana sebuah kondisi dalam game di satu sisi memang merupakan bentuk dari sebuah perancangan teknologi di dalamnya, tetapi di sisi lain tidak melupakan unsur seni yang terkandung di dalamnya. Sehingga diikatakan proses penyeimbangan antar unsur seni dan teknologi ini haruslah menjadi satu hal yang teramat penting.  Keseimbangan dalam hal ini bukanlah hal yang dapat dianggap enteng, di mana jika tidak ada keseimbangan antara teknologi dan art dalam sebuah konstruksi game, dikatakan hal ini menjadi penyebab “keretakan sebuah game”. Sehingga, jika hal ini terjadi pada apa yang hendak dinikmati dan yang ingin disampaikan oleh game tersebut tidak dapat dirasakan oleh setiap pemainnya. Jadi, sebuah game bukan sekedar suatu permainan mekanis yang berteknologi, tetapi di dalamnya terdapat unsur-unsur seni yang begitu kompleks.


What is a Game?

“Games are an exercise of voluntary control systems, in which there is a contest between powers, confined by rules in order to produce a disequilibrial outcome” (Elliot Avedon dan Brian Sutton-Smith)

A game is an interactive structure of endogenous meaning that require players to struggle toward a goal” (Greg Costikyan)
A game is a closed, formal system, that engages player in structured conflict, and resolves in an unequal outcome” (Tracy Fullerton, Chris Swain, dan Steven Hoffman)
Dapat disimpulkan bahwa game adalah sebuah bentuk, atau sistem yang interaktif, yang di dalamnya terdapat konflik, dan audiens atau player harus mencapai sebuah tujuan.
Penulis melihat bahwa games mengalami perkembangan, pada awalnya games dapat dikatakan hanya sebagai bentuk distraksi, tetapi jika dilihat pada masa sekarang, games menjadi bentuk interactive storytelling, di mana audiens tidak lagi hanya mengobservasi, tetapi berpartisipasi.

Games Basic Elements
Dalam sebuah game, ada 4 elemen yang menunjang sebuah game, yaitu mechanics, story, aesthetics, dan technology .

Mechanics, atau dapat dikatakan sebagai rule of the game, merupakan sistematika dalam sebuah game. Sebuah game memiliki aturan-aturan di dalamnya, dan dalam mencapai tujuan, player perlu mengerti aturan-aturan tersebut.
Story, atau cerita, merupakan bagian dari game yang bertujuan untuk menyampaikan dunia dalam sebuah game.
Aesthetics, merupakan bagian yang membantu untuk menguatkan narasi cerita dalam game, dan merupakan hal pertama yang akan dilihat dan dirasakan oleh player.
Technology, mirip seperti mechanics. Perbedaannya adalah, technology akan membatasi unsure lainnya, dalam hal dengan cara apa sebuah game dibuat dan bagaimana ceritanya disampaikan.
Unsur-unsur yang dipaparkan sebelumnya saling terkait, dan tidak ada yang lebih tinggi dari yang lainnya . Semua unsure tersebut saling menunjang, tetapi jika dilihat dari perspektif player, maka aesthetics yang akan terlihat dan technology cenderung “diabaikan”. Sebuah game tidak dapat hanya focus kepada salah satu unsur, tetapi semua unsure perlu diperhatikan.


Experience in Games
Dalam melakukan sesuatu, seseorang akan mengalami sebuah pengalaman. Pengalaman tersebut dapat berasal dari banyak hal. Games, atau permainan, merupakan medium untuk mendapatkan sebuah pengalaman. Games tidakakan berguna jika tidak ada orang yang memainkannya, karena inti dari games adalah pengalaman. Perlu dipahami bahwa games bukan merupakan pengalaman itu sendiri, melainkan sebagai medium untuk pengalaman .
Permasalahan yang muncul terkait dengan games dan pengalaman adalah, keterlibatan subjek, atau player dalam games. Player merupakan unsur yang penting dalam games, karena tanpa player maka tidak ada pengalaman dalam games. Games berbeda dengan bentuk medium lainnya, seperti film, lukisan, musik, dan sebagainya, yang cenderung linear . Games menarik player kedalam dunia yang dibentuk oleh designer. Garis pembatas antara audiens dan sebuah karya seakan hilang, dan hal tersebut yang membedakan games dengan medium pengalaman lainnya. Player diberikan pilihan dan kebebasan, untuk menjalankan cerita sesuai dengan keinginan mereka, sebuah cerita dalam games dapat berlanjut karena player terus memainkannya.

Empati, merupakan salah satu pengalaman yang dialami oleh player. Sebuah game yang “bagus” dapat membuat player berempati dengan karakter dalam game. Games dapat menciptakan relasi antara player dengan game yang dimainkan, sesuatu yang tidak terjadi dalam medium lainnya.
Why Do People Play Games and How It Transform Them?
Ada beberapa alasan mengapa seseorang bermain games. Pertama, untuk merepresiemosi. Kedua, untuk membangkitkan semangat. Ketiga, untuk mendapatkan perspektif. Keempat, membangkitkan percayadiri. Kelima, untuk bersantai.

Jika dilihat, games, secara umum, berfungsi untuk memberikan suatu bentuk alternative dari keseharian seseorang. Pernyataan bahwa games merupakan suatu bentuk distraksi tidak salah, tetapi games bias melebihi hal tersebut. Seperti yang dikatakan sebelumnya, seseorang dapat berempati dengan karakter dalam game, hal tersebut membuktikan bahwa games dapat mengubah emosise seorang, dan perubahan tersebut cenderung lebih intens karena keterlibatan langsung seorang player.

The Determination of Games As Work Art
Game telah lama muncul, jauh sejak tahun 1958 ketika William Higinbotham menciptakan Tennis for Two. Game waktu gambarnya masih kotak-kotak dan suaranya masih beep-beep-beep sudah membuat orang di seluruh dunia menyukai dan menggemarinya. Di musim panas tahun 2012, Art Museum Smithsonian Amerika menjadi tuan rumah dari pameran yang berjudul “The Art of Video Games”, tema ini menjadi merupakan terobosan baru di dunia seni.  Dalam pameran itu, memperlihatkan bahwa di dalam sebuah game terdapat campuran dari berbagai seni, seperti lukis, menulis, patung, musik, cerita, dan sinematografi-video. The Art of Video Game adalah salah satu pameran pertama yang menjelajahi evolusi empat puluh tahun video game sebagai media artistik, dengan fokus pada efek visual yang mencolok dan penggunaan kreatif teknologi baru.

Dan game sebagai karya seni, diperkokoh dengan pernyataan dari National Endowment for the Arts (NEA)  yang meresmikan bahwa game merupakan salah satu dari karya seni. Para pengembang video game nantinya akan diberikan bantuan atau hadiah dalam berbagai hal oleh NEA. NEA telah menetapkan game sebagai salah satu karya seni yang bisa membantu media pembelajaran dalam kategori Art in Media. NEA menyatakan bahwa seni adalah sama pentingnya dengan teknologi.
Norman, direktur audiens pendidikan, menyatakan program ini (game) berakar pada keyakinan bahwa game adalah gabungan dari semua seni. 
“You can’t create a game without…looking at and using the visual arts to create the background, to create all of the things that make it exciting. You would likewise need to complement it with music and you also need to have good writing skills.”  
Jack Lew, mantan rekan Norman, menambahkan bahwa, "dengan sebuah game, saya ingin seseorang dapat mengetahui bahwa belajar bisa dilakukan dengan menyenangkan. Saya ingin mereka tahu bahwa keterlibatan dengan materi pelajaran yang menantang dapat menyebabkan beberapa hasil yang menarik, dan bahwa hal-hal yang baik tidak datang dengan mudah.”

Dengan demikian, kita melihat bahwa game bukan hanya merancang permainan yang mekanik, tetapi merupakan pengalaman estetik yang membuat diri kita merasa lebih menyenangkan (enjoyable).

Gadamer and Art As Play
Kita melihat bahwa game sebagai sebuah karya seni yang menimbulkan enjoyable itu sejalan dengan konsep seni dari pemikiran Gadamer.  Pemikiran Gadamer tentang seni bertolak dari estetika Kant. Seperti yang ia katakan, pendekatan seni melalui pengalaman rasa estetika adalah salah satu yang relatif eksternal. Gadamer melihat bahwa, kemajuan besar Kant adalah untuk melihat bahwa rasa estetika bukanlah materi murni subjektif tetapi sesuatu yang mengklaim persetujuan universal; kedua, yang muncul bukan dari setiap konsep pemahaman tetapi dari memainkan bebas imajinasi; dan ketiga, bahwa kemampuan untuk bermain dengan bebas adalah keganjilan dari artistik 'jenius'.  Keindahan artistik adalah representasi indah dari suatu hal (suatu yang alami atau real) dan itu adalah tugas khusus jenius untuk membuat representasi yang indah. Di sinilah filsafat seni Gadamer bergabung estetikanya Kant.

Gadamer berpikir bahwa, seperti yang dijelaskan Kant, tanda penciptaan jenius terletak pada kegiatan produktif yang tidak mengabdi pada beberapa tujuan yang membuatnya berguna dan tidak dapat ditangkap dalam menetapkan aturan atau formula. Bahkan pencipta jenius tidak tahu aturan aktivitas kreatif yang bebas ditentukan. Apa yang Gadamer amati adalah bahwa penciptaan jenius tidak pernah bisa benar-benar dipisahkan dari pengertian orang yang mengalami itu, yang mengatakan bahwa menghargai sebuah karya seni membutuhkan aktivitas imajinatif pada bagian dari pengamat tidak kurang dari pembuatnya. Pikiran seniman dan pikiran penikmat, kita bisa mengatakan, harus saling terlibat dalam kegiatan kreatif, dan itu menimbulkan enjoyable bagi keduanya.
“A work of art . . . demands to be constructed by the viewer to whom it is presented. It is . . . not something we can simply use for a particular purpose, not a material thing from which we might fabricate some other thing. On the contrary, it is something that only manifests and displays itself when it is constituted by the viewer.” 
Gadamer menyatakan bahwa kita harus melihat apa yang ia sebut sebagai the anthropological basis of our experience of art (dasar antropologi pengalaman seni kita), dan hal ini menjadi sebuah bermain (play). Aku adalah fakta tentang manusia (dan beberapa hewan lain) bahwa mereka terlibat dalam play. Dalam berpikir tentang play kita siap kontras dengan pekerjaan dan dengan demikian dibuang untuk menerima karakterisasi sebagai aktivitas tanpa tujuan. Tapi dalam pandangan Gadamer itu adalah kesalahan yang mendalam untuk menganggap bahwa hal ini adalah hubungan antara 'aktivitas berat' dan 'hanya sebuah pengalihan’. Apa yang penting tentang play adalah meskipun dalam arti penting memang aktivitas tanpa tujuan, bukan sebuah tujuan tetapi struktur play itu sendiri. Dalam play, kita dapat membedakan aturan dan tujuan yang ditetapkan dalam play itu sendiri, dan hal ini bahkan benar dalam permainan anak-anak kecil yang sederhana. Jadi misalnya dalam sebuah tim sepak bola aturannya adalah menempatkan bola di net. Dilihat secara ekstrinsik, seperti prestasi yang berharga dan menyelesaikan atau mengakhiri dari suatu permainan. Nilai yang diberikan untuk setiap bola yang memasuki net, hal ini adalah rasa di mana permainan ini adalah tujuan. Namun dilihat secara intrinsik, yaitu dalam hal permainan itu sendiri, prestasi ini tidak dapat dijelaskan sebagai sebuah tujuan saja. Di mana, dalam tujuan suatu prestasi didasarkan pada aturan atau struktur dari play itu sendiri yang dapat dipamerkan di dalamnya.

Gadamer berpikir bahwa seni adalah a kind of play, di mana bersama-sama seniman dan pemain (player) bergabung menjadi satu. Apa yang khas tentang seni adalah tantangan besar itu menyajikan kepada player untuk membedakan makna yang ada di dalamnya. Ini bukan makna yang dapat dikonseptualisasikan atau explicated dalam bahasa, tetapi agak simbolis, yaitu karya seni adalah sesuatu yang bertujuan untuk menjadi apa yang mewakili. Tantangan artis atau seniman ialah mengajak player untuk terlibat dalam sebuah play yang bebas kreatif, di mana self-representation merupakan cara berada play untuk direalisasikan. 
Dapat dilihat bahwa pemikiran Gadamer tentang seni memberikan korelasi antara play (bermain) dan enjoyable (menyenangkan). Gadamer menekankan bahwa di dalam play kita bisa sangat serius memasukinya apapun jenisnya, dan menimbulkan enjoyable dalam experience manusia.


Kesimpulan
Kita dapat simpulkan bahwa game tidak hanya sekedar sebuah alat permainan yang mekanis teknologi, tetapi di dalam game terdapat perpaduan unsur-unsur seni, seperti musik, lukis, cerita atau narasi, visual, dan sinematografi-video. Tidak seperti karya seni yang lain, game sebagai karya seni bukan sebagai tontonan saja, namun juga penikmat seni juga dapat turut memasuki karya seni itu sendiri. Memasuknya seseorang akan mendapatkan pengalaman yang sangat menakjubkan dan unik dalam bermain game. Dan, pemain (player) diberikan sebuah kebebasan untuk menentukan takdirnya dalam sebuah permainan game, antara orang itu menjadi menang atau menjadi kalah (winners and losers). Ditambah lagi, game sebagai karya seni telah diresmikan oleh badan NEA. Dengan demikian, game sebagai sebuah karya seni adalah sesuatu yang begitu kompleks sebab di dalamnya terdapat berbagai unsur seni yang saling bercampur jadi satu, dan hal itu menjadi terobosan baru dalam dunia seni.




Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia)
Beete, Paulette. 2012 (Number #4). NEA Arts Magazine: Arts & Technology - Level Up! (USA: Art Works Publishers)
Graham, Gordon. 1997. Philosophy of The Arts: An Intoduction to Aesthetics (New York: Routledge)
Schell, Jesse. 2008. The Art of Game Design, A Book of Lenses (USA: Morgan Kaufmann Publishers)
Smith, Paul dan Carolyn Wilde. 2002. A Companion to Art Theory (USA: Blackwell Publishers)

Sumber Web 
(diakses pada tanggal 4 Desember 2013)
http://americanart.si.edu/exhibitions/archive/2012/games/ http://arts.gov/NEARTS/2012v4-arts-technology/level?id=02_levelup&issue=2012_v4
http://en.wikipedia.org/wiki/National_Endowment_for_the_Arts

Sumber Gambar
Gambar 1:  Jesse Schell. 2008. The Art of Game Design, A Book of Lenses (USA: Morgan Kaufmann Publishers), hlm. 345.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar